Friday, November 10, 2017

Sahabatku dalam Pelukan Merah dan Putih





Dalam keheningan malam terhembus angin begitu lembut. Itu cukup memberikan suasana dingin untuk seorang anak kecil yang sedang berdiri di ujung sebuah dermaga pelabuhan Desa Ujung, salah satu desa di pelosok negeri. Sosok anak kecil itu bernama Ram, dan aku adalah sahabatnya. Malam itu aku sendiri hanya berada di serambi rumah panggungku yang terletak pingir pantai. Aku enggan keluar rumah dengan cuaca seperti itu. Aku berbeda dengannya yang sudah terbiasa dengan dingin malam di penghujung dermaga. Bukan hanya itu saja perbedaanku dengannya, masih banyak hal lainnya. Dan  aku hampir lupa, namaku Raf. Aku duduk di bangku kelas sembilan, sama seperti sahabatku itu.
Pagi hari seperti biasanya aku terbangun sebelum matahari menampakkan senyumnya. Aku bergegas kembali menuju serambi rumah. Tempat yang sama ketika malam aku memandangi sahabatku  di ujung dermaga, Ram. Tak lama aku duduk disana, sinar mentari menyoroti mataku yang masih hendak terlelap. Namun inilah yang kutunggu. Pemandangan indah di setiap paginya, tak pernah membuatku bosan sekalipun. Menunggu waktu mandi pagi yang tepat. Setelah semuanya siap, aku berangkat untuk menemui teman-temanku di sekolah khususnya sahabatku si Ram.
“Raf!. Tungguin aku!” Suara yang sangat kukenali. Itu Ram.
“Raf, lo tau nggak, tadi malam aku senang banget duduk di ujung dermaga”. Ram membuka topik percakapan kami pagi itu sembari berjalan menuju ke sekolah dengan logat Betawi meskipun tak seluruhnya. Mungkin karena Ram sudah lama tinggal di kampung ini.
“Apa kita’ bikin di ujung dermaga?. Sendirian ki saya lihat. Tidak dingin jaki?” tanyaku dengan logat daerahku, Makassar.
Nggak kok Raf. Aku malah lebih suka berada disana akhir-akhir ini. Membayangkan betapa luasnya negeri kita dan betapa indahnya alam yang ia miliki. Raf, aku juga berharap semoga saja di hari esok semua orang di Negeri kita tercinta ini tetap saling menghargai perbedaan di tengah-tengah kita. Yah, seperti kebanyakan orang di kampung kita ini Raf. Lo sendiri dari Makassar, gue dari betawi. Agama kita juga berbeda Raf. Gue harap kita tetap sahabat sampai ajal itu datang”. Ram menjelaskan dengan serius pagi itu.
Tanpa disadari kami sudah berada di depan pintu kelas kami. Aku tak sempat lagi membalas perkataan Ram. Kami bergegas menuju tempat duduk masing-masing. Hari ini jam pelajaran pertama adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Pelajaran favoritku dengan sahabatku.
“Baik anak-anak, hari ini kita tidak bisa belajar bersama dengan lama karena sekolah kita sedang melaksanakan rapat mengenai persiapan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Jadi, sebagai tugas pengganti, kita akan membuat perlombaan drama tentang Kemerdekaan. Kalian setuju?”. Guru kami telah menjelaskan.
Semua siswa mengangguk.”Setuju Bu!”
“Raf, gue punya ide. Kita akan membuat drama yang mengisahkan masyarakat yang berbeda suku dan agama tapi punya rasa persatuan yang tinggi. Kisah yang mirip seperti kisah persahabatan kita Raf.” Ram mulai menjelaskan idenya.
Aku setuju saja dengan hal itu karena sepertinya itu ide yang cukup menarik. Bertepatan dengan maraknya kejadian di tengah-tengah masyarakat akhir waktu ini. Isu kaum mayoritas dan minorita dalam berbagai hal, agama misalnya. Setidaknya kami yang berada di pelosok desa bisa memberikan bukti kecil bahwa perbedaan bukanlah tolak ukur untuk menghargai orang lain. Hanya karena berbeda suku ataupun agama lalu tidak menghargai satu sama lain. Hal seperti itu adalah kekeliruan dalam bermasyarakat.
Setelah membicarakan ide itu kami pulang ke rumah masing-masing dan akan bertemu lagi seusai makan siang.
Waktu menunjukkan pukul 13.00 WITA. Aku bergegas ke serambi rumahku kembali memandangi lautan biru yang luas itu. Tak lama duduk disana kudengar suara keributan tak jauh dari rumahku. Aku bergegas ke tempat keributan itu berasal. Dan alangkah terkejutnya...
Itu temanku, Ram. Terkapar di tengah jalan dengan darah di kepalanya. Ia baru saja mengalami kecelakaan. Sebuah truk pengangkut pasir menabrak tubuh sahabatku tercinta. Tak mampu aku melihatnya lama disana. Aku segera melompat kesana. Kusandarkan ia di badanku sambil kupeluk tubuhnya. Saat itu ia sedang membawa sebuah kain berwarna merah dan putih. Itu bendera kebanggaan negaraku. Sang Saka Merah Putih. Ram menggenggamnya dengan kuat. Itu bendera yang akan kami pakai untuk latihan drama siang ini.
Dengan napas tersengal-sengal, Ram berbisik kepadaku." Raf, jaga bendera ini sebagai tanda bahwa kita masih tetap bersahabat meski perbedaan itu ada. Buktikan kepada orang lain tentang persahabatan itu. Aku sekarat Raf. Mungkin hanya engkau yang akan tetap memperjuangkan itu. Aku percaya padamu".
Aku tak dapat berucap sepatah katapun. Tanpa kusadari air mataku mengalir begitu derasnya. Ram masih bisa meraih pipiku. Mengusap air mataku itu. Sebelum akhirnya ia harus menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan Merah Putih.
Semuanya terasa berlalu dengan cepat. Kini aku hanya bisa memandangi ujung dermaga. Tak ada sahabatku disana. Hanya bendera merah putih yang sengaja kuikat di ujung dermaga dengan sebuah tiang bambu runcing berkibar dengan gagahnya. Itu semua untuk mengenang sahabatku tercinta, Ram, yang bersedia dengan lantang menjaga keberagaman negeri tercinta ini. Aku yang akan melanjutkan perjuangannya. Mewujudkan mimpi-mimpinya dan harapannnya. Itulah mimpi seorang sahabat kecilku, Bhineka Tunggul Ika, berbeda-beda tetapi tetap Satu.


0 comments:

Post a Comment