Dalam keheningan malam terhembus angin begitu lembut. Itu cukup memberikan suasana dingin untuk seorang anak kecil yang sedang berdiri di ujung sebuah dermaga pelabuhan Desa Ujung, salah satu desa di pelosok negeri. Sosok anak kecil itu bernama Ram, dan aku adalah sahabatnya. Malam itu aku sendiri hanya berada di serambi rumah panggungku yang terletak pingir pantai. Aku enggan keluar rumah dengan cuaca seperti itu. Aku berbeda dengannya yang sudah terbiasa dengan dingin malam di penghujung dermaga. Bukan hanya itu saja perbedaanku dengannya, masih banyak hal lainnya. Dan aku hampir lupa, namaku Raf. Aku duduk di bangku kelas sembilan, sama seperti sahabatku itu.
Pagi
hari seperti biasanya aku terbangun sebelum matahari menampakkan senyumnya. Aku
bergegas kembali menuju serambi rumah. Tempat yang sama ketika malam aku
memandangi sahabatku di ujung dermaga,
Ram. Tak lama aku duduk disana, sinar mentari menyoroti mataku yang masih
hendak terlelap. Namun inilah yang kutunggu. Pemandangan indah di setiap
paginya, tak pernah membuatku bosan sekalipun. Menunggu waktu mandi pagi yang
tepat. Setelah semuanya siap, aku berangkat untuk menemui teman-temanku di
sekolah khususnya sahabatku si Ram.
“Raf!.
Tungguin aku!” Suara yang sangat
kukenali. Itu Ram.
“Raf,
lo tau nggak, tadi malam aku senang banget
duduk di ujung dermaga”. Ram membuka topik percakapan kami pagi itu sembari
berjalan menuju ke sekolah dengan logat Betawi meskipun tak seluruhnya. Mungkin
karena Ram sudah lama tinggal di kampung ini.
“Apa
kita’ bikin di ujung dermaga?.
Sendirian ki saya lihat. Tidak dingin
jaki?” tanyaku dengan logat daerahku,
Makassar.
“Nggak kok Raf. Aku malah lebih suka
berada disana akhir-akhir ini. Membayangkan betapa luasnya negeri kita dan
betapa indahnya alam yang ia miliki. Raf, aku juga berharap semoga saja di hari
esok semua orang di Negeri kita tercinta ini tetap saling menghargai perbedaan
di tengah-tengah kita. Yah, seperti kebanyakan orang di kampung kita ini Raf. Lo sendiri dari Makassar, gue dari betawi. Agama kita juga berbeda
Raf. Gue harap kita tetap sahabat
sampai ajal itu datang”. Ram menjelaskan dengan serius pagi itu.
Tanpa
disadari kami sudah berada di depan pintu kelas kami. Aku tak sempat lagi
membalas perkataan Ram. Kami bergegas menuju tempat duduk masing-masing. Hari
ini jam pelajaran pertama adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Pelajaran
favoritku dengan sahabatku.
“Baik
anak-anak, hari ini kita tidak bisa belajar bersama dengan lama karena sekolah
kita sedang melaksanakan rapat mengenai persiapan Hari Ulang Tahun Republik
Indonesia. Jadi, sebagai tugas pengganti, kita akan membuat perlombaan drama
tentang Kemerdekaan. Kalian setuju?”. Guru kami telah menjelaskan.
Semua
siswa mengangguk.”Setuju Bu!”
“Raf,
gue punya ide. Kita akan membuat
drama yang mengisahkan masyarakat yang berbeda suku dan agama tapi punya rasa
persatuan yang tinggi. Kisah yang mirip seperti kisah persahabatan kita Raf.”
Ram mulai menjelaskan idenya.
Aku setuju saja
dengan hal itu karena sepertinya itu ide yang cukup menarik. Bertepatan dengan
maraknya kejadian di tengah-tengah masyarakat akhir waktu ini. Isu kaum
mayoritas dan minorita dalam berbagai hal, agama misalnya. Setidaknya kami yang
berada di pelosok desa bisa memberikan bukti kecil bahwa perbedaan bukanlah
tolak ukur untuk menghargai orang lain. Hanya karena berbeda suku ataupun agama
lalu tidak menghargai satu sama lain. Hal seperti itu adalah kekeliruan dalam
bermasyarakat.
Setelah
membicarakan ide itu kami pulang ke rumah masing-masing dan akan bertemu lagi
seusai makan siang.
Waktu
menunjukkan pukul 13.00 WITA. Aku bergegas ke serambi rumahku kembali
memandangi lautan biru yang luas itu. Tak lama duduk disana kudengar suara
keributan tak jauh dari rumahku. Aku bergegas ke tempat keributan itu berasal. Dan
alangkah terkejutnya...
Itu
temanku, Ram. Terkapar di tengah jalan dengan darah di kepalanya. Ia baru saja
mengalami kecelakaan. Sebuah truk pengangkut pasir menabrak tubuh sahabatku
tercinta. Tak mampu aku melihatnya lama disana. Aku segera melompat kesana.
Kusandarkan ia di badanku sambil kupeluk tubuhnya. Saat itu ia sedang membawa
sebuah kain berwarna merah dan putih. Itu bendera kebanggaan negaraku. Sang
Saka Merah Putih. Ram menggenggamnya dengan kuat. Itu bendera yang akan kami pakai
untuk latihan drama siang ini.
Dengan
napas tersengal-sengal, Ram berbisik kepadaku." Raf, jaga bendera ini
sebagai tanda bahwa kita masih tetap bersahabat meski perbedaan itu ada.
Buktikan kepada orang lain tentang persahabatan itu. Aku sekarat Raf. Mungkin
hanya engkau yang akan tetap memperjuangkan itu. Aku percaya padamu".
Aku
tak dapat berucap sepatah katapun. Tanpa kusadari air mataku mengalir begitu
derasnya. Ram masih bisa meraih pipiku. Mengusap air mataku itu. Sebelum
akhirnya ia harus menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan Merah Putih.
Semuanya terasa
berlalu dengan cepat. Kini aku hanya bisa memandangi ujung dermaga. Tak ada
sahabatku disana. Hanya bendera merah putih yang sengaja kuikat di ujung
dermaga dengan sebuah tiang bambu runcing berkibar dengan gagahnya. Itu semua
untuk mengenang sahabatku tercinta, Ram, yang bersedia dengan lantang menjaga
keberagaman negeri tercinta ini. Aku yang akan melanjutkan perjuangannya.
Mewujudkan mimpi-mimpinya dan harapannnya. Itulah mimpi seorang sahabat kecilku,
Bhineka Tunggul Ika, berbeda-beda tetapi tetap Satu.
0 comments:
Post a Comment